Oleh : Muhammad Hakim Rianta
Dalam perjalanan menuju transisi demokrasi yang ideal, tindak pidana korupsi telah menyisakan trauma fasisme yang cukup mendalam akibat rezim korup dimasa kelam. Traumatis yang demikian, mendorong tindak pidana korupsi dinobatkan sebagai hostis humanis generis atau musuh bersama umat manusia sehingga beragam upaya dalam membumihanguskan tindak pidana korupsi mulai dari penjatuhan sanksi yang tegas hingga pada pembatasan pemberian amnesti dan remisi merupakan suatu bentuk implementasi komitmen negara dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Mantan Hakim Agung Artijdo Alkostar pernah menyatakan bahwa intensitas perilaku korupsi secara langsung akan merusak sendi-sendi demokrasi, hak-hak rakyat, hak sosial terlebih lagi hak ekonomi yang berimplikasi pada terkikisnya tujuan pemenuhan kesejahteraan sosial sebagaimana tujuan negara Indonesia. Maka tak berlebihan jika korupsi dikualifisir sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sehingga invasi perilaku koruptif yang dewasa ini semakin marak menuntut negara melalui instrumen hukum dan monopoli kuasanya untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap bermacam bentuk tindak pidana korupsi.
Kendati demikian, upaya pemberantasan korupsi dengan jargon perang melawan korupsi atau anti terhadap korupsi seolah hanya berhenti sebagai sebuah khayalan semata, karena faktanya berdasarkan data aktual justru menunjukkan adanya trend peningkatan tindak pidana korupsi di Indonesia. Setidaknya menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa terjadi peningkatan jumlah perkara dan terdakwa korupsi yang mana sepanjang tahun 2021 terdapat 1.282 jumlah perkara korupsi dengan total terdakwa 1.404 orang. Belum lagi fakta bahwa anggaran yang digelontorkan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi tak sebanding dengan kerugian negara yang dapat dikembalikan dari hasil tindak pidana korupsi.
Dirangkum dari berbagai sumber, ternyata untuk satu saja perkara yang sedang ditangani oleh lembaga penegak hukum membutuhkan biaya yang cukup besar, misalnya Kejaksaan dalam operasional penyelidikan serta penyidikan membetuhkan anggaran berkisar 83-150 juta, Kepolisian membutuhkan anggaran operasional berkisar 200-300 juta, dan KPK membutuhkan anggaran berkisar 200 jutaan. Biaya satu perkara tersebut belum termasuk biaya operasional penuntutan, persidangan, biaya konsumsi di dalam Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan dan lain sebagainya. Alih-alih penegakan hukum tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk memberikan efek jera dan mengembalikan kerugian negara, justru kenyataan menampilkan sebaliknya negara mengalami kerugian akibat korupsi yang semakin marak disertai pembebanan negara terhadap biaya operasional penegakan hukumnya dan tujuan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi pun tak terpenuhi.
Kondisi demikian memicu lahirnya gagasan dan konsepsi baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, salah satu yang tak asing di telinga kita adalah mekanisme penegakan hukum di luar pengadilan yang dikenal dengan konsep Restorative Justice atau keadilan restorasi. Terlepas dari pro-kontra penerapan Restorative Justice dalam penegakan hukum korupsi, kita perlu menggali lebih dalam aspek positif dalam penerapannya juga mengintegrasikan dengan kebutuhan hukum nasional maupun ketentuan dalam kebiasaan hukum masyarakat sebagai kearifan lokal dalam penegakan dan peningkatan kesadaran hukum.
Restorative Justice dan Nilai Kearifan Lokal
Dilansir dari situs Badilum Mahkamah Agung, secara sederhana Restorative Justice atau keadilan restoratif dapat dimaknai sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan Restorative Justice sebagai sanksi alternatif atas kejahatan yang memfokuskan pada perbaikan atas perbuatan yang membahayakan, mempertemukan kebutuhan korban dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya. Keadilan restoratif ini menggunakan pendekatan keseimbangan, menghasilkan disposisi yang membatasi dengan memusatkan pada tanggung jawab pelaku dan memberikan bantuan pada korban. Pelaku mungkin diperintahkan untuk memberi ganti kerugian (restitusi), untuk melakukan pelayanan pada masyarakat, atau membuat perubahan dalam beberapa cara atas perintah (putusan) pengadilan.
Sebenarnya konsep Restorative Justice bukan merupakan konsep baru dalam pranata sistem hukum di Indonesia terutama dalam hukum adat dan kebiasaan dalam masyarakat (living law). Tak dapat dipungkiri mayoritas sistem penyelesaian perkara termasuk perkara tindak pidana dalam hukum kebiasaan (adat) masyarakat Indonesia selalu saja mengedepankan musyawarah mufakat dalam penyelesaiannya. Misalnya, di Sulawesi Tenggara masyarakat adat Tolaki dengan media Kalo Sara, masyarakat adat Buton dengan adat Kaleo-Leo begitu pula dengan masyarakat adat Muna. Dimana kesemuanya mendepankan mediasi untuk mewujudkan pemulihan keadilan baik bagi korban maupun terdakwa dan masyarakat secara umum. Sehingga tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa Restorative Justice merupakan internalisasi dari nilai-nilai kearifan lokal.
Efektivitas Restorative Justice dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Restorative Justice sejatinya merupakan salah satu bentuk alternatif pendekatan peradilan pidana yang pada dasarnya berlaku secara universal. Di beberapa negara pendekatan ini sudah diadopsi dan menunjukan hasil yang baik. Belanda misalnya, menjadi negara yang dianggap paling berhasil dalam mengimplementasikan Restorative Justice. Dengan memberlakukan mekanisme Restorative Justice, pada tahun 2016, berdasarkan Corruption Perseption Index (CIP) atau Indeks Persepsi Korupsi, Belanda menduduki posisi ke-8 dari 176 negara. Ini menunjukan, bahwa pendekatan Restoratif Justice justru lebih mampu menekan angka kejahatan khususnya dalam tindak pidana korupsi, terlebih lagi mampu memulihkan akibat dari tindak pidana dimana baik negara, pelaku juga masyarakat secara bersama-sama memikirkan cara untuk memulihkan kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan.
Jeremy Bentham dalam karyanya telah menggariskan bahwa pidana semestinya tidak diterapkan atau digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable, or inefficacous”. Dalam konteks ini, pendapat yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dapat menjadi kerangka teori untuk mendukung wacana penerapan Restorative Justice dalam penegakan hukum korupsi sebab apabila ditinjau dari segi efektivitas, sejatinya penerapan Restorative Justice amatlah efektif karena dapat memberangus berbagai permasalahan sekaligus dalam upaya penegakan hukum ketimbang mendahulukan pemidanaan sebab pidana sejatinya merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir dalam upaya penegakan hukum.
Kendati demikian, penerapan Restorative Justice haruslah diatur secara ketat agar menderogasi potensi penyalahgunaan dalam praktik dan implementasinya. Misalnya, memberikan limitasi terhadap nominal uang hasil korupsi dan Restorative Justice baru dapat diberlakukan apabila terdakwa mengembalikan seluruh uang hasil tindak pidana ditambah 10% dari hasil kerugian negara, pun jika uang hasil korupsi dikembalikan hanya sebagaian, maka tetap dilakukan penyidikan, penuntutan dan memungkinkan di persidangan akan ada pengurangan pidana (klementie) terhadap terdakwa.
Berdasarkan penjelasan di atas, penerapan Restorative Justice dalam penegakan hukum korupsi merupakan langkah tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan penegakan hukum korupsi mulai dari disparitas antara pembebanan anggaran negara dengan pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi hingga pada masalah over capacity Lembaga Pemasyarakatan serta sebagai bentuk internalisasi nilai-nilai kearifan lokal dalam hukum kebiasaan (adat) masyarakat Indonesia.