Oleh : Rusli La Isi/Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton
BUTON, BUTONSATU.com - Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak tahun 2021 di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, yang akan berlangsung 13 hari lagi (04/12/2021) kembali memunculkan fenomena money politic atau politik uang.
Fenomena politik uang di Pilkades bisa jadi merupakan turunan dari tindak serupa di level kontestasi demokrasi level di atasnya, seperti pemilihan Bupati, pemilihan Gubernur, pemilihan Presiden, maupun pemilihan Legislatif.
Dari referensi yang didapat politik uang atau juga biasa disebut dengan 'politik perut' merupakan suatu bentuk pemberian atau janji dari seorang politisi kepada rakyat dengan cara menyuap supaya orang/masyarakat itu tidak menjalankan haknya untuk memilih. Atau juga supaya mereka mau menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau juga dengan barang.
Menurut hukum di Indonesia, Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Dan Politik uang pada umumnya dilakukan oleh simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik itu sendiri menjelang hari pelaksanaan pemilihan umum. Di mana Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian dalam bentuk uang, sembako, antara lain bisa berupa beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau politisi yang bersangkutan.
Di Indonesia sendiri, Politik uang telah lama di praktekan oleh para politikus. Hingga pada saat sekarang pun, politik uang masih bisa di temukan di beberapa daerah saat menjelang pemilu. Meskipun dalam sekala kecil. praktek politik uang akan berdampak besar terhadap demokrasi. Karena Selain akan menghasilkan pemimpin dengan kualitas rendah, politik uang juga akan melemahkan politisi dan institusi demokrasi itu sendiri.
Sejatinya sejarah Pilkades di Indonesia sudah ada masa penjajahan, bahkan sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Hanya pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas saja, seperti kalangan elit desa maupun keturunan kepala desa yang sebelumnya.
Pilkades sendiri merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilu tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang begitu mengena kalau dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat. Pada moment ini, masyarakat yang akan menentukan siapa pemimpin desanya selama 6 tahun ke depan.
Dalam penelitian Halili, Civic Education and Law Department, Yogyakarta State University, Indonesia (2009). Hasil penelitian modus atau pola politik uang menunjukkan:
Pertama, pola praktik politik uang meliputi: komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai yang menggerakkannya.
Kedua, menggunakan aktor, praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect actor). Politik uang dalam Pilkades berlangsung sebagaimana uraian di atas dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.
Menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang, serangan fajar, dan penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa, yaitu bandar/pemain judi.
Baca Juga: Fenomena Politik Uang dalam Pilkades
Ketiga, dari aspek nilai, fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah (demos) dan para elit politik di desa, yaitu nilai non demokratis. Kedua, praktik politik uang yang berlangsung secara ekstensif
meningkatkan partisipasi formal pemilih. Namun demikian partisipasi tersebut bersifat semu.
Tentu faktor-faktor yang mempengaruhi politik uang tersebut diantaranya adalah kemiskinan sehingga money politics menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi, yakni termasuk tindakan menerima suap dan jual beli suara yang melanggar hukum.
Yang terpenting dalam pemikiran mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga penyebab politik uang. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan politik.
Politik uang dalam praktek nya lebih banyak menyasar ke masyarakat ekonomi rendah. Karena politik uang mampu melihat langsung pada apa yang menjadi prioritas sekaligus permasalahan yang sering dihadapi oleh mereka rakyat miskin. Untuk itu politik uang dilakukan dengan cara membagikan uang ataupun sembako.
Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakat sendiri yang kurang peduli terhadap politik. Ketika ada hajatan politik, seperti pemilihan umum, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih mengejar kepentingan pribadi sesaat.
Faktor budaya mendukung politik uang. Bahwa politik uang adalah hal biasa dalam kontestasi pemilihan di tingkat pusat maupun desa. Pepatah "jer basuki mawa beya" dipahami keliru dengan memaknai wajar orang yang ingin berkuasa mengeluarkan banyak uang dan harta.
Kasus politik uang belum mendapat perhatian lebih dalam perundang-undangan kita. Tidak kita temui pengaturan urusan ini UU No. 6/2014 tentang Desa, padahal jika kita kembali membuka sejarah, UU Desa menjadi dasar transformasi desa yang lebih mandiri.
Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.
Seharusnya UU Desa menyediakan dasar mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu menampakkan bentuk.
Politik uang juga sudah diatur dalam Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksinya sembilan bulan penjara atau denda Rp500 juta. Jika menggunakan regulasi tentang suap, ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp15 juta.
Ini tentu tak cukup untuk menyelesaikan 'permainan' yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih punya kelemahan utama dalam sistem pengawasan.
Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa. Faktanya, selama ini, setiap menjelang pemilihan umum, semua peserta membuat kesepakatan menolak money politic yang disaksikan.