Oleh: La Ode Yusran Syarif (Warga Pulau Kadatua)
Seperti melihat permainan "Boy" tim yang satu menyusun kaleng sampai full, sedangkan tim lainnya lagi berusaha menghancurkan susunan kaleng itu.
Begitulah mungkin gambaran yang tepat melihat keadaan di sebuah Pulau bernama Kadatua, yang seharusnya lautan, pesisir serta ekosistem didalamnya dijaga dan dilestarikan untuk keberlanjutan, tetapi justru sebaliknya.
Semenjak UU Desa diimplementasikan pada tahun 2014 desa-desa diguyur dengan dana 1 milyar. Pemerintah Desa di pulau ini kemudian menyambut itu dengan ragam program diantaranya adalah pembangunan fisik yang tentunya membutuhkan bahan dan material.
Eksploitasi alam Kadatua pun dilakukan, aktivitas galian C kian marak penyedotan pasir dan pengerukan dipesisir. Pulau Kadatua yang dulunya disepanjang pesisirnya indah karena pasir putihnya yang panjang, kini hancur, sirna dan tinggal cerita.
Lalu muncul abrasi, alam pun kemudian mencari keseimbangan barunya, gelombang pasang musim barat dan timur yang dulunya hanya pecah dibibir pantai kini memasuki areal pemukiman warga.
Maka untuk menyiasati itu pemerintah desa membangun talud-talud pemecah ombak, tetapi disisi lain aktivitas galian C juga masih marak.
Melihat ini, seperti berada dalam sebuah festival tetapi bukan pentas atau pameran karya. Tapi pameran seperti permainan yang saya singgung diatas, disana menyusun kaleng disini mengancurkan, disana menanggul disini menyedot.
Dalam koja-koja santai dengan mahasiswa disebuah warung kopi beberapa hari lalu isu ini menjadi bahan diskusi kemudian muncul ide-ide, salah satunya ide soal larangan kepada warga untuk menghentikan aktivitas penyedotan pasir.
Lalu terlintas dibenak saya, ide larangan bukan langkah solusional, mereka tidak ada pilihan pekerjaan mereka adalah korban dari pada kebijakan pemerintah desa yang tidak tepat.
Akar masalahnya bukan pada aktivitas penyedotan pasir, tetapi itu hanya imbas. Akarnya adalah kurangnya lapangan pekerjaan.
Pemerintah Desa tidak pernah jeli melihat persoalan, kebijakan serta program yang diambil semau-maunya dan malah orientasinya laba proyek. Dan terkesan, tambal sulam, tiba masa tiba akal.
Ketika masalah muncul dipermukaan baru dicarikan solusinya tidak menyasar akarnya. Pada akhirnya terus muncul masalah baru, kebijakan yang diambil pun berulang-ulang.
Padahal dalam siklus kebijakan publik ada namanya:
- Formulasi (bagaimana kebijakan itu dirumuskan? (Apakah berangkat dari akar masalah?)
- Implementasi (apakah pelaksanaannya sesuai dengan rencana)
- Evaluasi (Apakah berdampak positif bagi masyarakat).
La Ode Yusran Syarif
Email: laodeyusran@ymail.com
fb: @laodeyus
tw: @laodeyusran
ig: @laodeyusran