Oleh, Muhammad Risman,

Ketua Forum Komunikasi Pemuda (FKP)
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara

Setiap tanggal 9 Desember, selalu diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Internasional. Peringatan ini dimulai setelah Konvensi PBB Melawan Korupsi pada 31 Oktober 2003, untuk meningkatkan kesadaran anti Korupsi. Melalui resolusi 58/4 pada 31 Oktober 2003, PBB menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Internasional. Majelis itu mendesak semua negara dan organisasi integrasi ekonomi regional yang kompeten, untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB melawan Korupsi.

Buntut dari kesepakatan tersebut adalah dilahirkannya United Nations Conventions against Corruptions (UNCAC) yang berada di dalam kerangka United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Korupsi tidak hanya merugikan uang negara dan mengambil secara paksa uang rakyat, tetapi lebih jauh dari itu. Korupsi juga mampu melemahkan sendi-sendi ekonomi dan juga memperlebar jurang kemiskinan.

Khususnya di Indonesia pada saat Reformasi 1998, dukungan untuk pembrantasan Korupsi, muncul dengan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Pengelolaan Negara yang bersih dan bebas KKN. Hingga kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) juga membentuk beberapa badan negara untuk mendukung pemberantasan Korupsi. Seperti Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa badan negara lainnya.

Tongkat estafet kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004), dengan membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang juga diduga sebagai cikal bakal lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembentukan Lembaga anyar itu dianggap sebagai terobosan atas mandeknya upaya pemberantasan Korupsi di negeri ini. Hingga akhirnya, KPK resmi didirikan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Kemudian pada tahun 2020, sejarah kembali mencatat keputusan Pemerintah bersama Parlemen menuai perbincangan hebat di ranah publik. Kali ini, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menjadi penyebabnya. Pemerintah Indonesia melalui kebijakan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Republik Indonesia (DPR-RI) pada tanggal 5 Oktober 2020.

Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cipta Kerja. Disahkan oleh Presiden Joko Widodo, mulai berlaku sejak diundangkan oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 2 November 2020 di Jakarta, dan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245.

Baca Juga: KEPTON, Jadikan Kawasan Khusus ataukah Otonomi Daerah

UU Cipta Kerja tersebut, menjadi polemik karena dianggap bertentangan dengan tujuan Reformasi, banyak memangkas kewenangan otonomi daerah. UU Cipta Kerja yang semula bernama Cipta Lapangan Kerja sejatinya telah menjadi musuh serikat pekerja sejak dalam proses. Sejumlah pasal dinilai memangkas kesejahteraan kaum pekerja. Hal-hal yang menjadi sorotan diantaranya adalah sistem pengupahan, hak cuti, pesangon, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tidak berhenti disitu sebenarnya, UU Cipta kerja banyak mengedepankan kepentingan investasi asing termasuk akan memudahkan untuk mendatangkan Tenaga Kerja dari luar atau disebut Tenaga Kerja Asing (TKA).

Pengalaman penulis, saat menjadi Aktivis Pertambangan di Maluku Utara. Pada tahun 2017/2018, menilai kebijakan pemerintah dalam rangka memberikan ruang investasi asing, karena tanpa UU Cipta Kerja sudah banyak menimbulkan pro-kontra. Diantaranya, keterbukaan Corporate Social Responsibility (CSR) yang menjadi kewajiban perusahaan kepada masyarakat lingkar tambang, sangat jelas diatur Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (PT). UU No 25 Tahun 2012 Tentang Penanaman Modal, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas pada perusahaan tambang di Desa Kawasi Kecamatan Obi, Halmahera selatan dalam kurung tahun 2018 dapat diketahui tidak terlaksana dengan baik.

Belum lagi permasalahan kerusakan hutan yang dihantam brutal akibat pembukaan lahan pertambangan, apalagi sekarang Omibus Law RUU Cipta Kerja sudah ditetapkan menjadi Undang-Undang? Maka bisa dipastikan akan sangat memudahkan kepentingan investasi-investasi asing untuk seluas-luasnya menancapkan penguasaan dan mengambil hasil isi perut ibu pertiwi.

Namun Pemerintah, di berbagai kesempatan mengatakan didepan publik bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan membuka peluang dan memudahkan untuk kepentingan Usaha Makro Kecil Menengah (UMKM) dan kewenangan otonomi daerah tetap diberikan untuk mengatur seluas-luasnya, dimana kewenangan itu? Kalau semua banyak telah ditarik oleh Pemerintah Pusat.

Penulis sangat setuju, Omnibus Law menjadi alternatif untuk melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), memangkas jalur-jalur regulasi tumpang tindih di daerah yang memberikan ruang KKN. Tetapi dengan memberikan ruang kepada Pemerintah Pusat untuk mengatur banyak segalanya di daerah, itu juga keliru untuk semangat otonomi daerah.

Ketika pengaturan sistem banyak diberikan kepada Pemerintah Pusat, itu menurut penulis bukan menjadi jaminan, karena Indonesia memiliki sejarah panjang tentang sistem sentralisasi masa Orde Baru (1966-1998), kewenangan dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat yang dianggap banyak terjadi ketimpangan KKN.

Namun apapun tujuannya, kami berharap UU Nomor 11 Tentang Cipta Kerja dapat segera dijalankan sebagai bentuk keseriusan dalam mendukung program Nawa Cita Pemerintahan Presiden Jokowi.